Dailypemalang.com|Pemalang – Penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pesalakan menjadi awal polemik soal sampah di Kabupaten Pemalang. Kemudian gagalnya pembangunan TPA di Desa Purana, Kecamatan Bantarbolang akibat di tolak oleh warga setempat, semakin membuat persoalan sampah semakin tidak terkontrol dan membuat sampah berserakan di beberapa sudut kota Ikhlas.
Bahkan rencana pembangunan tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Kecamatan Ulujami dan di tempat lainya pun ada yang ditolak warga. Hal tersebut lantas menjadi sorotan banyak pihak. Tak terkecuali dari seorang Eky Diantara, aktivis yang juga selaku koordinator Aliansi Pantura Bersatu. Menurutnya, adanya penolakan warga tersebut seharusnya Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pemalang bergerak cepat menyelesaikan polemik tersebut.
Adanya penolakan pembangunan TPA di Desa Purana, dan adanya rencana pembangunan TPST seperti Desa Kertosari yang ditolak warga, kepala Dinas Lingkungan Hidup dan pejabat terkait yang menjadi TPK terkait pembangunan TPA dan TPST diduga kurang komunikasi serta tidak melibatkan warga setempat.
Seharusnya, kata Eky, sebelumnya pihak terkait khususnya DLH Kabupaten Pemalang dapat menilai dampak selanjutnya terhadap warga. Hal itu merupakan pencerminan dari sekumpulan pejabat yang memang terkesan tidak memahami arti tanggung jawab dalam memelihara lingkungan hidup.
Jika memang mereka peduli terhadap masyarakat dan faham UU No. 32 Tahun 2009 Dasar Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jelas di poin
a. Setiap warga negara berhak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat dan poin f. Menjamin kepastian hukum serta memberikan perlindungan terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap ekosistem.
“Dalam Pembangunan TPA atau TPST, wajib hukumnya memperhatikan dampak sosial masyarakat, dampak terhadap lingkungan itu sendiri, dampak kesehatan masyarakat, dan dampak ekosistem hewan sekitar,” terang Eky. Sabtu (25/1/2025).
“Tentu ini wajib diperhitungkan, jangan semena- mena seolah masyarakat tidak ada dan tidak tau aturan,” lanjutnya.
Terkait persoalan darurat sampah di Kabupaten Pemalang sudah semakin meluas, sudah puluhan ton sampah di timbun di beberapa titik lokasi yang sangat berdekatan dengan fasilitas umum seperti yang terjadi di Petarukan, Bojongbata, Desa Surajaya dan di Desa Mengori. Ratusan damtruck berisi sampah di timbun di sekitar lapangan sepakbola di empat desa tersebut beberapa hari yang lalu.
Lebih lanjut, Eky mengatakan mereka (Pihak DLH Pemalang -Red) kan sudah mengetahui peruntukan tata ruang wilayah Kecamatan Petarukan dan Kecamatan Pemalang, itu wilayah berkumpulnya manusia, dan akan menjadi daerah atau kawasan industri. Artinya, kepekaan masyarakat terkait nanti adanya dampak kesehatan bagi lingkungan, masyarakat pasti terganggu. Selanjutnya itu juga bisa berdampak terhadap lainya.
“Untuk itu, kami berharap Bupati Pemalang untuk tegas mengevaluasi kinerja Dinas LH, dan bila perlu mencopot Kepala Dinas LH dari jabatannya,” tegas Eky.
“Kepekaan kepedulian seorang pemimpin di harapkan oleh masyarakat. Jadi, jangan seolah-olah mengganggap sepele dan hal ini terkesan hanyalah polemik biasa, persoalan sampah ini justru menurut kami ini akan berdampak kepada masa depan masyarakat,” tambahnya.
Kembali ditegaskan oleh Eky, kalau sekiranya Pemkab Pemalang tidak mampu menangani sampah agar membuat surat resmi ketidakmampuan Pemkab Pemalang dalam menangani sampah.
“Kalau tak mampu atasi darurat sampah mending Pemkab Pemalang buat surat ketidakmampuan, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup lebih baik mundur,” tukasnya.
Sementara keprihatinan terkait persoalan sampah di Kabupaten Pemalang yang tak kunjung mendapat solusi cepat dan tepat menjadi keprihatinan bagi seorang Willy Soebandrio selaku Dewan Penasehat Laskar Merah Putih Indonesia Markas Cabang Pemalang. Menurutnya, masalah sampah yang semakin tak terkendali di Kabupaten Pemalang. Penutupan TPA Pesalakan dan gagalnya pembangunan TPA di Desa Purana, Kecamatan Bantarbolang, menjadi cermin ketidakmampuan pemerintah dalam merencanakan dan mengelola pengelolaan sampah dengan baik. Ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang mewajibkan pemerintah daerah untuk menyediakan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai untuk kepentingan masyarakat.
“Apalagi, penolakan warga terhadap pembangunan TPST di Kecamatan Ulujami dan beberapa lokasi lainnya menunjukkan bahwa ada kegagalan komunikasi dan pemahaman antara pemerintah dan masyarakat,” ujar Atlit yang juga sebagai calon pengacara muda, Minggu (26/1).
“Seharusnya sesuai dengan prinsip Partisipasi Masyarakat dalam Pasal 5 UU No. 18/2008, di mana masyarakat memiliki hak untuk dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada lingkungan.
Ini bukan hanya soal ketidaksiapan infrastruktur, tapi juga soal tanggung jawab pemerintah untuk mengedukasi dan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak,” lanjutnya.
Lanjut dikatakan oleh Willy, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menekankan bahwa kekayaan alam dan pengelolaan sumber daya alam, termasuk pengelolaan sampah, adalah tanggung jawab negara untuk dikelola demi kesejahteraan rakyat. Sampah yang berserakan di sudut-sudut kota Ikhlas dan di beberapa wilayah lainnya bukan hanya mencemari lingkungan, tetapi juga berdampak pada kesehatan dan kualitas hidup masyarakat, yang bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, yang menjamin setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pemalang seharusnya tidak hanya berdiam diri dalam menghadapi persoalan ini. Pemkab harus segera mengambil langkah konkret, sesuai dengan kewajibannya dalam Pasal 11 UU No. 18/2008, yang mewajibkan pemerintah daerah untuk menyediakan sarana dan prasarana pengelolaan sampah,” jelasnya.
“Pemerintah jangan hanya menunggu masalah semakin menumpuk, tetapi harus segera bertindak untuk mencegah kerusakan yang lebih parah, dengan berpegang pada prinsip Pencegahan (Precautionary Principle) yang tertuang dalam Pasal 67 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengharuskan pemerintah untuk mengambil tindakan preventif terhadap potensi kerusakan lingkungan,” tutup Willy.