Dailypemalang.com|Pemalang – Dalam keterangan resminya, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Pemalang Nur Aji Mugi Harjono menyatakan, sebanyak 16 unit mobil ambulans telah tiba dan ini merupakan program prioritas Bupati Pemalang.
Menurut kalangan pemerhati hukum dan pengadaan barang/jasa Pemerintah, hal tersebut perlu dikaji ulang. Ada dua aspek krusial dari realisasi program tersebut .
Menurut praktisi hukum Dr. (c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., aspek krusial yang pertama adalah sumber anggaran dan mekanisme pengadaan, terutama dimana pos anggarannya. Dalam sistem keuangan daerah yang diatur oleh Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara dan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, disitu diterangkan setiap belanja daerah harus direncanakan dan disetujui melalui mekanisme APBD, dengan kata lain, publik berhak mengetahui apakah pengadaan 16 unit mobil ambulans tercantum dalam APBD Kabupaten Pemalang tahun anggarannya berjalan.
Kemudian jika hal tersebut bersumber dari hibah atau dana transfer pusat, seperti Dana Alokasi Khusus (DAK), tetap harus mengacu dalam perubahan APBD dan di administrasikam secara akuntabel.
“Tidak boleh ada pembelanjaan barang milik daerah di luar mekanisme anggaran resmi, karena hal itu dapat melanggar asas legalitas potensi pelanggaran hukum,” terang Imam Subiyanto di kantor advokatnya, Sabtu (24/5/2025).
Kemudian dari segi prosedur, diterangkannya dalam peraturan presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang pengadaan barang/jasa, Pemerintah telah menetapkan bahwa pengadaan barang harus memenuhi prinsip efisiensi, tranparan, adil dan akuntabel.
Menurutnya, dengan nilai pembelian yang kemungkinan mencapai milyaran rupiah, seharusnya pengadaan mobil ambulans dilakukan melalui tender terbuka atau e-purchasing melalui e-katalog LKPP. Jika pengadaan dilakukan secara langsung tanpa alasan yang dibenarkan regulasi, maka hal itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hukum pengadaan.
Hal tersebut juga bisa berpotensi sebagai penyalahgunaan anggaran dan bisa berujung pada temuan BPK, bahkan bisa masuk ke ranah pidana jika menyebabkan kerugian negara sebagaimana yang diatur dalam UU Tipikor.
“Transparansi dan audit publik diperlukan. Pemda Pemalang melalui BPKAD sepatutnya mempublikasikan rincian proses pengadaan ini secara terbuka,” katanya.
Ia juga menyampaikan, keterbukaan terhadap publik tidak hanya mencerminkan akuntabilitas anggaran, tetapi juga dapat mencegah asumsi negatif dari masyarakat.
Lebih lanjut Imam Subiyanto mengatakan, fungsi pengawasan DPRD juga perlu diuji, apakah mereka telah mengevakuasi pos anggaran program prioritas kepala daerah secara menyeluruh, atau sekedar menjadi lembaga stempel.
“Jangan permainkan aturan demi gimik program,” ujarnya.
Menurutnya, program prioritas bukan berarti boleh mengabaikan tata kelola keuangan. Jika niat tersebut untuk membangun masyarakat tetapi tidak diimbangi dengan kepatuhan hukum, maka program sebesar apapun hanya akan menghasilkan prestasi semu, dan membuka celah resiko hukum bagi para pelaksana anggaran.
Adapun legalitas anggaran sendiri harus tercantum di APBD dalam sistem keuangan negara dan daerah, ia pun mengingatkan, setiap pengeluaran daerah harus memiliki dasar hukum yang sah, yaitu tercantum dalam APBD. Hal ini pun ditegaskan dalam pasal 3 dan 11 No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, serta pasal 69 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Untuk itu Imam Subiyanto mengingatkan, Audit oleh BPK, pemeriksaan APIP (Inspektorat), dan pengawasan DPRD seharusnya menjadi garda terdepan untuk memastikan tidak ada program yang dilaksanakan diluar prosedur.
“Niat baik harus dijalankan secara legal, pengadaan ambulans merupakan langkah penting, namun langkah tersebut tidak boleh ugal-ugalan, tanpa dokumen, tanpa perencanaan, atau hanya berdasarkan semangat program prioritas,” tandasnya.
Sementara itu, menurut dari narasumber terpercaya, pengadaan mobil ambulance siaga tersebut sumber dana diduga dari efisiensi anggaran. Namun sangat disayangkan, penggunaan anggaran tersebut tanpa koordinasi dengan legislatif.
“Pengadaan mobil ambulance siaga tersebut dari anggaran (efisiensi anggaran), sayangnya tanpa adanya koordinasi dengan legislatif (langsung beli unit). Harusnya kan lewat paripurna anggaran perubahan,” beber seorang narasumber yang tak ingin namanya di publikasikan. (Mas All/Prapto).